Maaf andai semua yang kutulis di sini tak berarti apa-apa. Aku memang bukan bermaksud untuk menghadirkan sesuatu makna pun. Aku hanya ingin menulis (mengetik dengan keyboard, lebih tepatnya). Tapi tetap berharap makna itu hadir…
Entah apa yang ada di pikiranku ketika itu, ketika aku mengajak seorang perempuan (asing bagi mataku, tapi tidak buat otakku) yang baru beberapa minggu ini kukenal dekat, untuk menciptakan sebuah media maya bertajuk konvensional “blog” ini. Aku bukan termasuk orang yang suka menulis, meskipun sudah terhitung dua buku tebal yang kupenuhi dengan guratan-guratan kegelisahanku selama kurang lebih dua tahun–dan aku menghentikan aktivitas itu sejak empat tahun lalu ketika aku mulai disibukkan dengan kuliah.
Ya, aku (kadang) suka memuntahkan apa yang ada di kepalaku dalam bentuk tulisan-tulisan sederhana. Kadang suka kurangkai kalimat-kalimat sederhana itu membentuk suatu sajak. Lalu bila sempat juga kumasuki suku-suku kata yang ada di dalamnya dengan nada. (jadi ingat lagu pertama yang kubuat dengan gitarku, dalam sepuluh menit–Billy, namanya–yang berjudul ‘Saat-saat Letihku’, lagu sederhana dengan feel agak sedikit groovy)
…bias asa… selaksa cerita mengisahkan lara… damai kurindu hadir mimpi indahku… tidur bumi terlelap hampa jiwaku… begitu bunyi bait pertama yang berhasil kugubah.
Kegelisahan-kegelisahan yang lama tak kuhiraukan dan cuma lewat menyisir sisi-sisi kepalaku menyisakan kerut di dahiku itu kini datang lagi. Kami seperti kawan lama yang bertahun-tahun tak bertemu, lalu kangen-kangenan berceloteh kesana-kemari tentang hal-hal yang dulu pernah kami alami bersama.
Seperti itu pula aku bertemu perempuan ini (tapi aku sedang tidak ingin menceritakan bagaimana kami bertemu). Aku seperti sudah kenal dia lama. Entah sifat sok tahu-ku atau benar adanya, aku yakin kami punya banyak pemikiran yang sama, hanya saja kami jarang membicarakannya. Dan aku semakin yakin ketika membaca buah benaknya ini. Ia memang suka bertutur. Dalam lisan (aku suka caranya bercerita) maupun dalam tulisan (aku suka diksi-nya).
PERINGATAN: SEGERA KLIK TANDA SILANG DI KANAN ATAS BROWSER JIKA SUDAH MULAI MUAK MEMBACA OMONG KOSONGKU INI
Hasratku menoreh prasasti datang lagi. Keinginan untuk meninggalkan jejak bahwa aku pernah hidup di bumi ini muncul lagi. Semangat untuk struggle melawan serba ketidakjelasan hidupku tersuluh lagi.
Lalu kuajak dia (perempuan asing itu) menulis blog kami berdua. Kami sepakat memberi judul blog ini ‘mediaLuna’ yang dalam bahasa Spanyol artinya ‘bulan sabit’. Bulan Sabit? Ya, bulan sabit. Begitulah aku mengandaikan bentuk mata perempuan itu ketika ia tersenyum, tertawa, atau sekadar menutupi sedihnya ketika aku mendapati bahwa aku menyakiti perasaannya.
dan tahukah engkau, duhai kekasihku?
bahwa adakalanya ‘selamat tinggal’ adalah kata-kata terindah…
meskipun berat untuk diucap, waktu ‘kan tetap pisahkan aku dan dirimu…
adakalanya butir air mata… adalah satu pesan yang tercipta…
bahwa segalanya beranjak reda…
nyata pun kelak bisikkan abadi yang semu…
bila esok datang menjemput langkah kita ‘tuk retaskan kisah…
kurelakan satu akhir… memelukku…
dan bila usai peranku… bertepilah semua anganku…
dan singgahmu adalah hari-hari terindah di hidupku…
Bukan, bukan aku ingin mengucapnya… aku hanya mencoba menguatkan diri atas kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Aku tak ingin jauh dari perempuan asing ini (kali ini aku lebih nyaman memakai kata ‘ini’, karena dia memang ada di sini–kuletakkan tanganku di atas dada kiri-ku). Dia yang menyematkan petuah padaku bahwa hidup adalah perjuangan…
dan dialah alasanku untuk tetap memperjuangkan hidup…
(ds)
Filed under: feeling | Leave a comment »